Apakah Usaha Kartini Sia-sia?
Hai, udah lama nih nggak nulis di Jurnal, kali ini, setelah nonton film Kartini (directors cut) di bioskoponline.com. Tiba-tiba mikir, perempuan sekarang, apakah usaha Kartini sudah membuat perempuan mendapatkan hak nya?
Edit: Aku baru berani posting hari ini, 21 April 2022
Langsung cuss kuy
Apakah Usaha Kartini Sia-sia?
Bertahun-tahun setelah Kartini memperjuangkan hak wanita agar sama dengan pria, apakah usahanya itu sudah berhasil? *tulis di komen ya
Sebelum itu, mari kita lihat isu belakangan ini.
Perempuan masih menerima ketimpangan pandangan masyarakat. Yah, di lingkungan patriarki seperti Indonesia sulit untuk meyakinkan masyarakat bahwa laki-laki dan perempuan masih bisa berjalan beriringan. Namun, seorang perempuan masih saja terkekang, tidak diberikan pilihan.
"Ngapain lanjut S2? buang-buang waktu tahu nggak."
"Udah 26 kan tahun ini, kapan nikah? Mau jadi perawan tua?"
"Ngapain sih sekolah tinggi-tinggi, nanti juga jadi ibu rumah tangga."
Tiga kalimat ini membuktikan bahwa perempuan di Indonesia masing dikekang secara mental. Dengan segala obrolan yang selalu dilakukan di masyarakat, perempuan tidak mendapat kebebasannya secara penuh untuk menentukan pilihan.
Kenapa sih, perempuan itu nggak boleh sekolah lebih tinggi dari laki-laki? Kenapa perempuan nggak boleh lebih pintar dari laki-laki? Nanti laki-laki jadi minder? Atau apakah sebenarnya laki-laki tidak ingin wanita berada di derajat yang lebih tinggi? Hentikanlah pikiran primintif seperti itu.
Yang diinginkan Kartini bukannya perempuan yang memiliki derajat yang lebih tinggi dari laki-laki, namun perempuan yang derajatnya sama dengan laki-laki. Perempuan yang bisa berjalan bersama laki-laki. Perempuan yang bisa menanggung berat yang sama dengan laki-laki.
Seharusnya dengan persamaan derajat ini, kedua pihak, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama diuntungkan. Perempuan bisa membantu perekonomian suami, suami pun bisa membantu pekerjaan rumah. Rumah tangga tidak melulu soal suami yang menafkahi istri. Bukan hanya istri yang bertanggung jawab terhadap mendidik anak dan kebersihan rumah. Rumah tangga adalah proses kerjasama antara suami dan istri. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Begitu juga seharusnya pandangan masyarakat. Perempuan seharusnya memiliki hak untuk memilih umur berapa ia akan menikah. Perempuan seharusnya memiliki hak seberapa tinggi ia akan menempuh pendidikan. Karena, ilmu yang dipelajari pasti akan berguna ke depannya. Seorang ibu yang cerdas pasti akan melahirkan anak-anak yang cerdas juga. Ilmu yang perempuan dapatkan selama pendidikannya akan berguna untuk mendidik anaknya.
Lalu, apakah usaha Kartini sia-sia? Tidak. Usaha Kartini untuk membuat sekolah bagi perempuan dan rakyat miskin membuat kita, para perempuan dapat merasakan nyamannya mengenyam pendidikan. Membuka mata kita, melihat dunia secara luas. Mengencangkan sabuk pengaman dan terbang ke seluruh sisi dunia. Selanjutnya adalah bagaimana cara kita, Kartini-kartini generasi selanjutnya untuk mengubah pola pikir masyarakat, bahwa seorang perempuan yang belum menikah di umur 25 belum tentu ia tidak laku. Bahwa, seorang perempuan yang melahirkan secara caesar bukan berarti ia belum menjadi ibu secara utuh. Bahwa, pendidikan tinggi yang diambil perempuan bukan berarti ia ingin menduduki laki-laki, tetapi untuk meringankan beban laki-laki. Bahwa, perempuan juga harus mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki.
Apa yang lebih indah dari laki-laki dan perempuan yang bisa berjalan beriringan, saling bahu membahu?
Yuka_Chau
5 April 2021
Komentar
Posting Komentar